Menggusur Sekolah SLB: Apakah Kita Sudah Memikirkan Dampaknya?


Dikutip dari KOMPAS.com – Pembongkaran beberapa ruang kelas di Gedung C dan D Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Pajajaran, Kota Bandung, terjadi pada Rabu (15/5/2025), bertepatan dengan pelaksanaan ujian kenaikan kelas. Ruang-ruang ini rencananya akan dialihfungsikan untuk Sekolah Rakyat, program yang digagas oleh Kementerian Sosial (Kemensos). Padahal, sekolah tersebut memiliki nilai sejarah penting dan telah berdiri sejak tahun 1901, jauh sebelum Indonesia merdeka. Menurut Wakil Ketua Komite Orangtua SLB Negeri Pajajaran, Tri Bagyo, pihak sekolah dan orangtua telah menerima surat pemberitahuan untuk mengosongkan ruang kelas per 15 Mei 2025.
Belakangan ini muncul kabar bahwa salah satu bangunan Sekolah Luar Biasa (SLB) di kota Bandung akan digusur karena lahannya akan digunakan untuk proyek pembangunan sekolah rakyat. Jujur saja, kami merasa prihatin dengan rencana tersebut. Bukan karena menolak pembangunan sekolah rakyat, tapi karena merasa bahwa keputusan ini bisa berdampak besar pada anak-anak yang bersekolah di sana.
SLB bukan sekadar bangunan tempat belajar. Bagi anak-anak berkebutuhan khusus, sekolah ini adalah tempat mereka merasa diterima, dibimbing, dan diberi ruang untuk berkembang sesuai dengan kemampuan masing-masing. Ketika sekolah ini digusur, maka mereka kehilangan lebih dari sekadar ruang kelas—mereka kehilangan lingkungan yang sudah mendukung mereka selama ini.
Pemerintah memang punya tanggung jawab membangun infrastruktur, tapi tanggung jawab itu juga mencakup perlindungan terhadap hak pendidikan, terutama bagi kelompok rentan seperti siswa SLB. Pertanyaannya sekarang: apakah sudah ada solusi atau tempat pengganti yang memadai sebelum rencana penggusuran ini dijalankan?
Sebagai masyarakat, kita tentu ingin pembangunan yang maju. Tapi kemajuan itu seharusnya tidak boleh mengorbankan hak anak-anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan nyaman. Jangan sampai, demi satu proyek pembangunan, kita malah mengabaikan kebutuhan mereka yang justru paling membutuhkan perhatian.
Saya berharap, pemerintah bisa meninjau ulang keputusan ini, atau setidaknya memberikan solusi yang benar-benar konkret. Misalnya, menyediakan bangunan pengganti yang lebih layak, aman, dan tetap mudah diakses oleh siswa dan guru. Karena membangun kota tidak hanya soal gedung tinggi atau jalan lebar, tapi juga soal keberpihakan pada pendidikan, khususnya untuk mereka yang paling membutuhkan.
Selain itu, penting untuk diingat bahwa proses belajar di SLB tidak bisa disamakan begitu saja dengan sekolah umum. Anak-anak berkebutuhan khusus membutuhkan pendekatan yang berbeda, baik dari segi kurikulum, tenaga pengajar, maupun fasilitas. SLB telah dirancang dengan kebutuhan-kebutuhan itu dalam pikiran. Jadi, jika sekolah ini digusur tanpa adanya perencanaan yang matang untuk mengganti fasilitas tersebut, maka yang terjadi bukan hanya gangguan sementara, tetapi kemunduran yang cukup serius dalam proses pembelajaran mereka. Anak-anak bisa kehilangan semangat belajar, dan orang tua pun akan semakin khawatir dengan masa depan anak-anak mereka.
Kita juga harus melihat bahwa isu ini bukan hanya soal fisik bangunan, tapi juga soal keberpihakan sosial. Apakah kita benar-benar sudah memberi ruang yang setara bagi semua warga, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus? SLB adalah bentuk nyata dari sistem pendidikan yang inklusif. Ketika kita dengan mudah menggusur sekolah seperti ini tanpa transparansi, partisipasi masyarakat, atau dialog terbuka, maka yang terlihat adalah bahwa suara kelompok rentan belum cukup diperhatikan dalam proses pengambilan keputusan publik. Padahal, jika kita ingin menjadi masyarakat yang adil dan beradab, perhatian terhadap kelompok seperti inilah yang seharusnya menjadi prioritas.
Akhir kata, kami mengajak kita semua—baik pemerintah, masyarakat, maupun media—untuk lebih peka dan peduli terhadap isu-isu seperti ini. Jangan sampai semangat pembangunan justru menjauhkan kita dari nilai-nilai kemanusiaan. Kita bisa membangun gedung baru, kita bisa memperlebar jalan, tapi kita tidak bisa mengulang masa kecil anak-anak yang hari ini sedang berjuang belajar dengan segala keterbatasan mereka. Mari jadikan pembangunan bukan hanya soal infrastruktur, tapi juga soal nilai, empati, dan keberpihakan pada mereka yang kerap dilupakan.