Refleksi Perilaku Konsumtif dampak dari Penggunaan TikTok
Di zaman sekarang, siapa yang tidak mengenal aplikasi bernama TikTok? Sebuah aplikasi hiburan populer, yang menyediakan video singkat dan juga menyediakan fitur berbelanja yang memudahkan semua orang. Aplikasi ini sangat digandrungi, mulai dari kaum muda sampai kaum tua. Mayoritas pengguna TikTok adalah anak muda.
Menurut data dari Business of Apps, sebagian besar pengguna berusia antara 18 dan 24 tahun dan akan mencapai 34,9% dari seluruh pengguna pada tahun 2022. Berikutnya adalah kelompok usia 25-34 tahun dengan porsi 28,2%. Ada juga anak muda berusia 13 hingga 17 tahun, yang mencapai 14,4%. Saat ini, jumlah pengguna terendah adalah mereka yang berusia 55 tahun ke atas sebesar 3,4%, dan mereka yang berusia 45 hingga 54 tahun sebesar 6,3%. Berdasarkan gender, jumlah pengguna perempuan akan meningkat, yaitu 55% dari seluruh pengguna pada tahun 2022. Laki-laki berjumlah 43% dan gender lainnya berjumlah 2%. Indonesia sendiri merupakan negara dengan jumlah pengguna TikTok terbesar kedua di dunia, mencapai 113 juta pengguna pada April 2023. Saat ini Amerika Serikat menduduki peringkat pertama dengan 116,5 juta pengguna
TikTok memungkinkan penggunanya untuk membuat video singkat dengan beragam efek kreatif dan filter yang menarik. Sehingga pengguna dapat menghasilkan konten unik dan menarik, sehingga menarik perhatian pengguna lainnya.
Selain itu, algoritma yang dipakai TikTok sangat canggih untuk menganalisis preferensi pengguna dan memberikan konten yang relevan secara personal. Ini berarti setiap pengguna memiliki pengalaman yang disesuaikan dengan minat dan perilaku mereka, dan membuat mereka terus terlibat dengan platform. Contohnya pengguna yang menyukai trend fashion, maka dengan algoritma yang canggih, membuat halaman TikTok akan terus memunculkan berbagai trend Fashion saat sedang scroll aplikasi tersebut.
TikTok juga memiliki kemampuan untuk menciptakan tren dan memicu konten yang menjadi viral. Ketika video atau tantangan tertentu mendapatkan popularitas, pengguna lain sering kali ikut serta dalam tren tersebut, menyebabkan konten tersebut menjadi lebih luas dan memperoleh sorotan publik.
Dari kelebihan yang dimiliki TikTok ini kemudian menjadi salah satu penyebab lahirnya arus FOMO (Fear of Missing Out). FOMO adalah rasa takut merasa “tertinggal” karena tidak mengikuti aktivitas tertentu. Sebuah perasaan cemas dan takut yang timbul di dalam diri seseorang akibat ketinggalan sesuatu yang baru, seperti berita, tren, dan hal lainnya. Tanpa sadar, akhirnya TikTok menggiring para penggunanya untuk berperilaku konsumtif/hobi berbelanja secara berlebihan.
Kebanyakan orang saat ini berperilaku konsumtif demi mengikuti trend tanpa berpikir kegunaannya, membeli produk tanpa mengutamakan kebutuhan dan hanya keinginan. Hal tersebut lantaran dipicu oleh gaya hidup yang dapat mempengaruhi keinginan membeli barang tertentu agar terkesan gaul dan FOMO.
Prilaku Konsumtif ini sangat didukung oleh promosi yang dilakukan di TikTok yang biasa disebut “Racun TikTok” menyuguhkan konten-konten dari influencer yang ada di TikTok dalam mempromosikan produk tertentu. Agar para penontonnya membeli barang tersebut.
Banyak warga Indonesia terutama remaja “gen Z” saat ini bisa di katakan dominan berbelanja dalam memenuhi kebutuhannya dengan bertransaksi secara online.
Fitur dalam aplikasi TikTok yaitu TikTok shop menjadi platform menarik untuk belanja berbagai macam barang. Uniknya pengguna tidak perlu beralih ke aplikasi lain untuk berbelanja. Aplikasi TikTok shop juga menyediakan gratis ongkir (Ongkos kirim), live event, memiliki tawaran harga yang sangat miring, barang diantar ke rumah dengan kualitas yang juga bagus.
Dampak perilaku konsumtif dalam membeli suatu produk yang sedang menjadi tren ini, agaknya perlu direfleksikan kembali. Sebab, kenyataannya kebanyakan orang membeli karena termakan oleh kata-kata ataupun klaim yang menyatakan seakan-akan produk tersebut memang layak untuk dibeli yang kemudian akhirnya mereka membeli karena berlandaskan rasa penasaran akan produk tersebut, padahal produk minim dalam hal kebermanfaatan.
Selain itu, perlu direnungkan kembali bahwa mengikuti tren ibarat loba lari tanpa garis finis. Butuh berapa banyak dana untuk prilaku konsumtif kita demi bisa mengikuti trend TikTok dan sosial media lainnya yang tidak akan ada habisnya ini.
Penulis : Naila Salsabila, Ratu Anti, Ufi