Tanggal 8 Maret diperingati sebagai hari Internasional Women’s Day atau Hari Perempuan Internasional. International Women’s Day atau Hari Perempuan Internasional merupakan hari peringatan terhadap suatu momentum penting bagi kaum perempuan di dunia. Internasional Women’s Day diperingati dengan tujuan untuk merefleksikan, dan mengadvokasi segala pemenuhan hak-hak dan menghapus ketimpangan bagi perempuan.


International Women’s Day pertama kali diadakan pada tahun 1911. Dalam sejarahnya Internasional Women’s Day ini berawal dari banyaknya terjadi penindasan kepada kaum perempuan diseluruh dunia. Pada tahun 1908 banyak terjadi kerusuhan besar-besaran seperti ketidaksetaraan dan penindasan terhadap kalangan perempuan, hingga kemudian pada tahun inilah muncul gerakan-gerakan aktif kaum perempuan yang dilakukan dengan tujuan menyuarakan perubahan atas penindasan dan ketidaksetaraan dikalangan perempuan. Pada tahun 1909-1910 perjuangan kesetaraan atas kaum perempuan masih terus berlanjut. Perempuan Amerika terus menyuarakan peringatan nasional setiap hari Minggu terakhir di bulan Februari, tekad kuat itu pun ternyata berbuah manis.


Pada tahun 1911 Hari Perempuan Internasional mulai didirikan dan telah disepakati di Kopenhagen, Denmark. Bahkan pada tanggal 19 Maret, beberapa negara seperti Denmark, Swiss, Jerman, dan Austria juga ikut merayakan peringatan international tersebut. Kemudian di tahun berikutnya yaitu pada 23 Februari, Rusia pun ikut merayakan Internasional Women’s Day, hanya saja terdapat perbedaan tanggal perayaan. Hingga akhirnya dibuatlah kesepakatan baru dan menetapkan Hari Perempuan Internasional atau Internasional Women’s Day secara global diperingati pada tanggal 8 Maret setiap tahunnya.


Di Indonesia sendiri bahkan sudah 3 tahun belakangan ini ikut perayaan Hari Perempuan Internasional. Sebelumnya, terutama pada masa orde baru, perayaan semacam ini identik dengan gerakan “kekirian”, mengingat memang semangat yang dibawa lekat dengan semangat revolusioner. Padahal dalam perkembangan sejarahnya, perayaan ini bukanlah sebagai pesta pora “perempuan”. Ini adalah wujud kita menelusuri sejarah penindasan berbasis jenis kelamin—sejarah perempuan. Sedikit sekali referensi yang menuliskan keterlibatan perempuan. Bahkan dalam era Revolusi Prancis, keterlibatan ribuan perempuan yang turun ke jalan tidak banyak dituliskan dalam sejarah. Boro-boro ditampilkan, bahkan semboyan “liberté, égalité, fraternité” tidak memberi ruang makna bagi keterlibatan perempuan. Problem kata
sandang bahasa feminin-maskulin dalam bahasa Prancis ini tidak hanya bekerja secara nyata dalam pemberian “gender” dalam kata. Ia menginternalisasi pemahaman penggunanya dalam pikiran dan tindakan keseharian.

Penulis: Nadiya Himmatuna Rusydah (1215020139) Qurrotu Aini (1215020163) Syifa Nurhaliza

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *