20 Tahun Setelah Invasi Amerika, Bagaimana Tindakan Tersebut Merusak Jaringan Sosial dan Warisan Budaya Irak?

0
Bendera digunakan oleh serdadu AS untuk menutupi patung Saddam Husein. Foto: dw.com

Baghdad, Irak – Jurnalis dan sutradara Irak, Meethaq Al-Khatib, mengingat kembali seminggu sebelum invasi, mengatakan kepada Al Jazeera, “Saya masuk ke ruang tamu, dan menemukan paman saya memasang selotip di jendela. Saya bertanya kepadanya tentang alasannya. Dia menjawab, ‘agar kaca tidak berubah menjadi pecahan.’ Di saat yang sama, saya melihat Saddam Husein dalam penampilam terakhirnya di TV di rumah.”

Pada tanggal 19 Maret 2003, koalisi internasional yang dipimpin oleh Amerika Serikat melancarkan serangannya ke Irak dan keesokan harinya, serangan darat dimulai.

Saat itu, keluarga al-Khatib tinggal di Ramadi, sekitar 110 kilometer sebelah barat Baghdad. Keluarga tersebut meninggalkan rumah mereka pada awal invasi, tetapi kembali ke Ramadi karena tidak menemukan kebutuhan dasar hidup di kota Hit, provinsi Anbar. Namun demikian, mereka menemukan bahwa pasukan Amerika telah mendirikan pangkalan militer hanya beberapa meter dari rumah mereka. “Situasinya sangat sulit dengan keberadaan pangkalan militer Amerika yang begitu dekat. Kami selalu hidup dalam ketakutan akan serangan terhadapnya. Sekarang saya bisa mengingat, kami mengharapkan itu terjadi setiap minggu.” kata Al-Khatib.

Perlu diingat bahwa serangan 11 September 2001 oleh al-Qaeda menjadi pemicu bagi Amerika Serikat untuk menginvasi Afghanistan. Tujuannya untuk menghancurkan jaringan organisasi tersebut dan menggulingkan pemimpinnya, Usamah bin Laden. Namun, alasan yang digunakan oleh Amerika Serikat untuk menginvasi Irak sangat berbeda. Meraka menuduh Saddam Husein memiliki senjata pemusnah massal dan menganggapnya sebagai ancaman terhadap keamanan dunia. Selain itu, juga sebagai bagian dari perang global melawan terorisme.

Saddam dan rezimnya telah digulingkan, dan tidak ada senjata pemusnah massal yang ditemukan. Alih-alih demokrasi yang dijanjikan, invasi Amerika dan kerusakan yang menyertainya menebarkan ketakutan di kalangan rakyat Irak dan merusak budaya mereka.

Migrasi dan Pengungsian Berturut-turut

Setelah munculnya organisasi Negara Islam (ISIS) di Irak dan Suriah yang berasal dari Al-Qaida dan menguasai wilayah luas di Irak dan Suriah pada tahun 2014, keluarga Al-Khatib mengungsi dari Ramadi.

Meethaq Al-Khatib mengatakan, “Selama perang ISIS, kami kehilangan rumah Saya yakin bahwa perang ini terkait dengan perang tahun 2003. Kami terpaksa mengungsi dan tidak lagi memiliki kehidupan yang layak. Yang kami minta hanyalah kehidupan keluarga yang normal.”

Seiring dengan itu, invasi Amerika ke Irak berlanjut dan penduduknya dijajah hingga tahun 2011. Hal itu menyebabkan serangkaian gelombang pengungsian yang besar. Jumlah pengungsi di Irak mencapai 2,6 juta pada tahun 2007 setelah invasi pada tahun 2003.

Pada saat Amerika Serikat menghentikan operasi militernya di Irak pada Desember 2011, jumlah pengungsi telah mencapai 1,3 juta orang. Antara kebangkitan dan kejatuhan ISIS pada tahun 2013-2019, jumlah pengungsi Irak berlipat ganda dan mencapai puncaknya pada tahun 2015 ketika mencapai 4,4 juta.

Merebaknya Kekerasan

Setelah penggulingan Presiden Saddam Husein, terjadi kekosongan kekuasaan yang berubah menjadi ketegangan sektarian yang memicu perang saudara. Menurut Meethaq Al-Khatib, “Menurut pandangan saya, semuanya berubah. Saya tidak menyukai pilihan yang ada di depan saya sebagai pemuda Irak. Jika pilihan antara perang dan Saddam, itu bukan yang saya inginkan.”

Data dari Program Informasi Konflik Uppsala menunjukkan bahwa 7.966 pertempuran tercatat di seluruh Irak antara tahun 2003 dan 2021, atau rata-rata satu pertempuran per hari selama 19 tahun.

Kerusakan Melanda Warisan dan Budaya Irak

Sebelum terjadinya perang, sektor pendidikan memiliki sumber daya yang baik dan tersedia untuk perempuan, tetapi invasi Amerika sangat mempengaruhinya dan membatasi akses bagi sebagian besar masyarakat terhadap layanan pendidikannya. Menurut survei yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan Irak di lebih dari 3.200 sekolah menengah di seluruh negeri, dari Juni hingga Agustus 2003, 80% dari sekolah mengalami kerusakan sedang atau parah.

Setelah penggulingan pemerintah Irak pada tahun 2003, sejumlah akademisi memutuskan untuk meninggalkan negara tersebut. Sebagian besar dari mereka telah pergi akibat sanksi yang diberlakukan pada Irak pada tahun 1990-an, serta akibat pembatasan kebebasan berekspresi.

Meethaq Al-Khatib mengatakan, “Ibu saya adalah seorang guru di sekolah terdekat, pada salah satu tingkat, ketika Al-Qaeda mulai menguasai kota kami dengan kuat. Suatu hari, ibu saya kembali ke rumah dan mengatakan kepada saya bahwa mereka memberitahunya bahwa ia harus mengenakan cadar karena hijab saja tidak lagi diterima.”

Tentang harapannya untuk masa depan, Al-Khatib mengatakan bahwa ia hanya ingin keluarganya merawat kehidupan mereka sehari-hari yang normal. Ia menambahkan, “Kami masih menderita banyak dari semua keputusan ini (yang diambil sejak awal perang di Irak), jadi yang saya benar-benar inginkan adalah kehidupan yang normal, dibiarkan sendiri, dan tidak dipaksa melakukan hal-hal yang saya tidak inginkan.”

Editor: Abdulloh Faqih

Sumber : Aljazeera.net & Atlantic Council

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *