Sumber : aawsat.com

Riyadh – Setiap tahun pada bulan Maret, sehubungan dengan Hari Puisi Internasional, demonstrasi dan seminar untuk menghormati puisi dan penyair diselenggarakan di semua negara Arab. Demonstrasi dan seminar ini seringkali bersifat formal atau semi formal. Meski demikian, ia berakhir tanpa memberikan dampak yang berarti bagi kehidupan budaya lokal karena tidak menimbulkan efek nyata dalam dunia puisi.

Adapun kondisi penyair Arab saat ini hidup dalam kondisi terburuk, mengalami fluktuasi paling berbahaya, dan krisis paling serius. Tampaknya karya penyair hanya sebatas membacakan puisi dalam acara tertentu di depan penonton yang semakin hari jumlahnya semakin berkurang.

Bahkan, peran penyair Arab tengah menjadi masalah mendasar saat ini, terutama karena masyarakat Arab tampak menolak puisi karena wacana tentang pikiran dan jiwa, sampai-sampai para pendukungnya telah mencapai jumlah yang sangat besar. Oleh karena itu, sangat sulit bagi penyair untuk menjangkau dan mempengaruhi ketika wacana tersebut telah menguasai masyarakat.

Penyair Arab kontemporer mungkin mempunyai rasa yatim piatu dari sebelumnya, karena dikelilingi oleh kekuatan yang menguasai dari semua sisi, terutama karena dunia telah berkembang atas alat komunikasi modern, yang telah mencakup kehidupan intelektual dan kreatif.

Memang, isu warisan diangkat lebih dari satu kali pada masa-masa munculnya tanda-tanda pembaharuan, baik dalam bentuk prosa maupun puisi. Tetapi tampaknya mengangkat kembali puisi-puisi ini telah menjadi hal yang mendesak dan perlu, karena warisan ini telah menjadi kabur dan tidak diketahui lagi, bahkan menjadikan warisan ini terbelakang. Padahal puisi begitu maju dalam kebudayaan Arab di masa lalu.

Namun, kita tahu bahwa para penyair reformasi besar abad ke-20 memperlakukan warisan sastra, puitis, dan spiritual secara positif, menjadikannya tak terlupakan dan selalu menjadikannya sumber pembaruan. Sehingga mereka dapat menciptakan karya-karya penting dan asli. Di masa kini, banyak dari penyair baru yang membuat karya dengan asal, mejadikannya penghinaan yang tidak mempedulikan aspek-aspek lainnya. Mereka juga condong pada perkembangan puisi Barat modern, yang bahkan banyak dari mereka salah menerjemahkan isi yang sebenarnya.

Menyikapi warisan bukan berarti hanya membaca dan mempelajarinya, tetapi juga membutuhkan proses pendalaman untuk bisa mengembalikan cahaya yang telah hilang. Perlu keberanian dalam mengusung orisinilitas untuk mengangkat kembali kejayaan puisi. Seperti yang dikatakan Herman Melville, kekuatan puitis dapat mengembalikan kekuatan dan pengaruh mereka dalam realitas yang ditandai oleh ketidakpedulian, kesengsaraan, dan pemiskinan kognitif. Pembaruan juga tidak berarti bahwa seorang puas dengan ini atau itu, atau sekedar mengatakan dirinya seorang penyair yang ahli bermain kata-kata dan menciptakan bentuk serta isi yang baru, tapi dia harus terus melakukan perkembangan dari segala aspek.

Nietzsche mengatakan, “Ketika penyair membuat karya dan menentang segala sesuatu yang mengikat kebebasannya dengan mengatasi hambatan yang terjadi, puisi ini akan melesat.” Pun seperti yang dikatakan kritikus dan penyair Skotlandia, Kenneth White, “Penyair bukanlah seorang karyawan yang terikat oleh aturan pekerjaannya atau anggota keluarga yang terikat oleh tugasnya, melainkan seorang petualang yang mengambil risiko tanpa batas dan tanpa akhir.”

Hubungan penyair dengan bahasa tidak sekedar bermain dengan kata-kata. Melainkan hubungan ini menuntutnya untuk menggali misteri bahasa hingga menemukan permata tersembunyi, makna yang indah yang terbalut dalam diksi.

Penyair bukanlah orator atau seorang pekerja yang sekedar memilih kata-kata, sebaliknya, dia adalah orang yang tidak takut untuk menggunakan kedalaman bahasa untuk menumbangkan apa yang basi, mati, dan berulang. Tidak seperti pendeta yang melarikan diri dari satu dunia ke dunia lain, penyair mencoba melampaui realitas di mana ia bergerak, yang bisa sengsara, tidak adil dan kejam, bergantung pada kekuatan dan kreativitas imajinasi puitis. Menurut Nietzsche, hidup tidak memiliki arti sampai dia menciptakan dunianya sendiri.

Selanjutnya, penyair menolak realitas karena tidak ada kehidupan nyata di dalamnya atau karena itu merupakan dunia orang mati, menurut Rimbaud. Seorang penyair tidak berurusan dengan ide-ide seperti seorang akademisi yang membuatnya sakral, sehingga tidak membutuhkan interpretasi atau kritik, tidak hanya sekarang tetapi di masa depan.

Penyair sering dicap sebagai makhluk antisosial, artinya mereka cenderung mengasingkan diri dan hidup menyendiri. Dan mungkin memang begitu. Namun, ia harus menunjukkan melalui puisi dan sikap intelektualnya bahwa kecenderungannya untuk menyendiri sama sekali tidak berarti penarikan diri dan ketidakpedulian terhadap masalah masyarakatnya.

Editor : Firha Hilyatu Nafila

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *