Manuver Politik Negeri Mixue dalam Menengahi Konflik Saudi-Iran
Beijing – Rekonsiliasi diplomatik antara Kerajaan Saudi Arabia dan Iran tampak mengejutkan dunia internasional, khususnya bagi pengamat perpolitikan dunia Timur Tengah. Hal ini dikarenakan ruwetnya hubungan antar kedua negara yang saling memperebutkan pengaruh terhadap negara teluk dan sekitarnya, sehingga berimbas pada ketegangan dan ketidakharmonisan antar negara Liga Arab. Demi melihat peluang untuk mempererat kerjasama antar negara, Xi-Jinping sebagai pemimpin tertinggi Cina melakukan manuver politik dengan menengahi perselisihan antara Arab-Iran yang belakangan diketahui telah direncanakan sejak Desember 2022 lalu.
Berlangsung dari 6-10 Maret 2023 di Beijing, kesepakatan normalisasi hubungan ini dihadiri oleh Delegasi Saudi Arabia selaku Penasihat Keamanan Nasional Saudi Musaed bin Mohammed Alaiban, dari Delegasi Iran dipimpin oleh Dewan Keamanan Tinggi Keamanan Nasional Iran, Ali Shamkhani, dan diplomat Wang Yi tampil sebagai Delegasi Cina.
Hasil pembicaraan selama empat hari tersebut menunjukkan kesepakatan Riyadh-Teheran untuk melanjutkan hubungan diplomatik dan membuka kembali kedutaan dalam waktu dua bulan. Kedua delegasi juga satu suara untuk mengaktifkan kembali perjanjian kerja sama keamanan tahun 2001, serta pakta lain berupa perdagangan, ekonomi dan investasi. Perlu diketahui bahwa ini adalah momentum pertama kali dalam tujuh tahun terakhir semenjak Saudi Arabia memutuskan relasinya dengan Iran. Tahun 2016 menjadi keretakan hubungan kesekian kalinya yang dipicu dengan serbuan Kedutaan Saudi di Teheran, yang mana insiden ini merupakan reaksi pemerintah Iran atas eksekusi ulama Muslim Syiah di Riyadh.
Warga Saudi merespon peristiwa bersejarah ini dengan reaksi yang berbeda. Optimisme, skeptisisme, kekhawatiran atau apatis bercampur dalam benak pikiran mereka. Hal ini dapat dimaklumi karena ingatan mereka terhadap ketegangan di masa lalu yang begitu memanas, terutama insiden pengeboman dan penyerangan yang diprakarsai jaringan militan Hizbullah al-Hijaz dan Khat al-Imam dengan dukungan penuh Pemerintahan Revolusi Iran. Catatan hitam menyebutkan berbagai insiden yang mendera kawasan Saudi, di antaranya kasus ledakan fasilitas Perminyakan Ra’s al-Ju’ayma tahun 1987, serangan Hizbullah yang menargetkan Industri Petrokimia Jubail tahun 1988, juga serangan terhadap Kilang Minyak Ra’s Tanura di tahun yang sama. Keterlibatan organisasi yang menyerukan penggulingan monarki Saudi ini juga tercium pada insiden pemboman Menara Khoban tahun 1996, meskipun kevalidan informasi perihal keterlibatan mereka dipertanyakan.
Kendati gagasan untuk merajut kembali hubungan yang kusut ini melahirkan kebimbangan dari beberapa pengamat, Saudi Press Agency menyebutkan bahwa banyak masyarakat yang menyatakan dukungan terhadap keputusan pemerintahan mereka. Menteri Luar Negeri Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan al-Saud menegaskan bahwa kesepakatan Kerajaan dengan Iran ialah demi rekonsiliasi hubungan diplomatik, dan perlu digarisbawahi bahwa tujuan utama agenda ini untuk “menyelesaikan perselisihan melalui komunikasi dan dialog.”
“Perjanjian Saudi-Iran akan membawa manfaat keamanan yang lebih besar di kawasan Teluk, Timur Tengah, dan komunitas global yang lebih luas, karena posisi Kerajaan selalu mencari keamanan dan stabilitas di kawasan itu,” ujar pensiunan Mayor Jenderal Saleh Mohammed al-Malik, seorang profesor media militer dan keamanan di Universitas Naif Arab dilansir Arab News.
Bila dilihat secara mendalam, letak geografis Kerajaan Saudi dan Iran yang berdekatan menjadikan keduanya memiliki banyak kesamaan dalam hubungan agama, sejarah dan budaya yang telah berlangsung lama. Justru kesamaan semacam itulah yang dapat memperkuat upaya untuk menyelesaikan ketidaksepakatan melalui negosiasi.
“Saya yakin jika semua ketentuan kesepakatan dilaksanakan, itu akan memulihkan keamanan, perdamaian, dan kerja sama yang signifikan dan konstruktif untuk melayani seluruh Timur Tengah dan negara tetangga,” tukas al-Malik.
Editor: Muhammad Albar Ramadhan